• 24 Apr, 2025

Misi Mulia Perintis Rumah Magot, Ciptakan Circle Business dengan Back to Society

Misi Mulia Perintis Rumah Magot, Ciptakan Circle Business dengan Back to Society

Sebuah motor matic berhenti di halaman parkir Rumah Padat Karya, di Jalan Jepara PPI, Surabaya. Pengendara itu kemudian turun dan menyapa. Ia adalah Djohan Tri Tjahyono selaku Ketua RW9, Kelurahan Moro Krembangan, Kecamatan Krembangan.

“Selamat siang, mencari saya, ya,” sapanya. Pria berpostur kurus itu berjabat tangan dan memperkenalkan diri sebagai Ketua Kelompok Krembangan Madani. Yakni kelompok masyarakat yang membudidayakan magot dan lele di wilayah setempat.

Djohan, begitu ia disapa, mengajak berkeliling rumah magot. Sambil berkeliling, ia menceritakan ambisinya memberdayakan warga guna mengangkat Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Ia juga menunjukkan tumpukan rak dan rumah black soldier fly (BSF) atau lalat magot. Terdapat enam rumah lalat, tiga di antaranya telah terisi. Sedangkan tiga lainnya proses pembibitan. Selain itu, terdapat lima susun rak di sisi kanan-kiri dan tengah yang masih proses produksi.

“Saya ingin mewujudkan impian Bapak (Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi), yakni menjadikan MBR berpenghasilan Rp6 juta per KK per bulan dari magot,” lanjutnya saat dijumpai di Rumah Padat Karya, RW 1 Moro Krembangan, Sabtu (25/6/20222).

Upaya tersebut cukup mulia. Sebab pria kelahiran Surabaya ini telah menciptakan circle business yang mengedepankan back to society. Yakni usaha yang dibangun berdaya bagi lingkungan dan masyarakat. Itu sebabnya ia tidak mementingkan profit dari usahanya.

Awal dari budi daya magot telah dimulai tahun 2020 bersama rekannya di Mrutu, Kelurahan Kalianyar. Satu tahun kemudian ia memindahkannya ke RW 9 Kelurahan Moro Krembangan. Di lokasi tersebut, ia memanfaatkan lahan seluas 10 x 11 meter. Lahan itu dibagi menjadi dua, yakni lele dan magot.

“Ada warga Jojoran (Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng) ingin membeli magot dan lele. Sebetulnya saya kewalahan memenuhi kebutuhan pakan lele, yang saat itu sudah berjumlah 3.000 ekor. Mending magot saya pakai untuk pakan lele,” kenang Djohan.

Menariknya, produksi lele tidak dijual ke pasar. Melainkan dijual ke warga ber-KTP RW 9 Moro Krembangan, dengan harga di bawah pasar. Warga dibebaskan menjual ke mana saja, sepanjang mendapat margin. Sebagian produksi lele dibagikan kepada warga stunting dan anak-anak berkebutuhan khusus.

“Bagi saya, dijual ke mana saja tidak penting. Yang penting, warga bisa memanfaatkan lele dan magot. Dengan begitu, warga bisa berdaya, bisa dapat untung agar tidak bingung mencari penghasilan,” Djohan menjelaskan.

Obrolan ringan di balik tembok teduh itu ia lanjutnya dengan cerita bila magot dan lele yang yang dirintisnya telah berkembang. Hal ini membuat Wali Kota Eri Cahyadi tertarik. Ia berdiskusi dengan jajarannya di Pemkot Surabaya untuk memberi lahan di RW 1 yang lebih luas.

Lahan itu kemudian didirikan rumah magot dengan ukuran 10 x 30 meter yang diberi nama Rumah Padat Karya Krembangan Madani. Terdapat pekarangan dan tempat parkir yang luas. Pekarangan di depan Rumah Magot itu nantinya ditanam apotek hidup yang meliputi tanaman obat keluarga dan urban farming lain.

Usaha magot ini membuat negara lain berminat. Jepang misalnya, meminta pasokan minyak magot. Adapun Kanada dan Rusia melirik tepung magot. Djohan mengaku ketiga negara itu menyatakan minat melalui surat elektronik (surel).  

Untuk memenuhinya, dibutuhkan produksi hingga 6 ton per hari. Namun ia mengaku tidak mudah mewujudkannya. Meskipun Wali Kota Eri Cahyadi mendorong agar produksi magot bisa terwujud dan menembus pasar internasional.

“Harga magot dipasar internasional memang sedang cantik. Tapi saya belum sanggup memenuhi produksi. Saya ingin berdarah-darah dulu, bicara level kelurahan dulu, agar budi daya ini bisa dirasakan warga,” urai warga Tambak Asri, Moro Krembangan ini.

Untuk jangka pendek, produksi magot di Rumah Padat Karya ini ditarget 75 kg per hari. Ada strategi yang tengah ia canangkan untuk mewujudkan impian Wali Kota Eri Cahyadi.

Pertama meminta pemkot mencarikan laboratorium di perguruan tinggi. Harapannya penelitian itu memberi sertivikat magot produksinya bebas residu. Kedua, membangun jaringan. Ia ingin mengembangkan rumah magot di seluruh kelurahan di Surabaya. Bila ambisi ini terwujud, bukan tidak mungkin produksi 6 ton per hari bisa terealisasi.

“Taruhlah Kota Surabaya punya 160 kelurahan, masing-masing kelurahan memproduksi 25 kg per hari, itungan saya bisa mendapat magot 4 ton per hari. Sisanya mencari solusi,” terangnya.

Bila produksi itu terwujud, bukan tidak mungkin budi daya magot bisa menyerap 200 tenaga kerja MBR. Asumsinya, produksi magot tercapai 6 ton per hari kali harga pasar Rp4 ribu per kg. Dalam sehari warga Surabaya bisa mendapat Rp 24 juta, atau satu bulan Rp720 juta.

Magot memiliki manfaat yang cukup besar. Tidak sebatas pakan ternak, tapi juga bisa dikonsumsi manusia. Dengan kandungan protein di kisaran 41-57 persen, magot bisa diolah menjadi makanan dan kosmetik. Adapun sampah magot, atau kasgot, bisa dijadikan pupuk organik.

Pria kelahiran Surabaya 8 Juni ini mengaku luas lahan itu tidak bisa maksimal. Di satu sisi lele yang dibudidayakan butuh pakan magot. Sementara produksi magot belum maksimal. Ada pun permintaan magot dan lele mulai banjir.