• 24 Apr, 2025

Tekan Kasus TBC, Pemkot Surabaya Masifkan Sosialisasi Cegah Penularan

Tekan Kasus TBC, Pemkot Surabaya Masifkan Sosialisasi Cegah Penularan

Banyak cara dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam memerangi tuberkulosis (TBC). Salah satunya dengan melakukan kolaborasi dan sinergi bersama unsur hexa helix melalui optimalisasi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) videografi Orkestra Cinta Merdeka TBC, di Graha Sawunggaling, Senin (20/1/2025).

Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi mengatakan, kegiatan penyuluhan ini merupakan upaya eliminasi TBC di wilayah yang ia pimpin. Sekaligus mendukung percepatan target nasional dalam eliminasi TBC tahun 2030. Tujuan kegiatan ini untuk menyampaikan informasi terkini mengenai situasi capaian program TBC.

“Kami memiliki tekad mengeliminasi TBC. Karena TBC merupakan salah satu penyakit yang sulit terdeteksi. Penyintas biasanya malu, akhirnya tidak mengaku dan menularkan ke keluarga maupun tetangga,” kata Wali Kota Eri.

Ia melanjutkan, optimalisasi KIE dalam bentuk media sosial mengenai program TBC rutin dilakukan kepada semua unsur, utamanya yang tergabung dalam Tim Percepatan Penanganan TBC di Kota Surabaya. 

“Bahkan Direktur Rumah Sakit Universitas Airlangga, Prof. Dr. Nasronuddin menciptakan lagu. Di dalamnya disebutkan, yang sakit jangan didiskriminasi. Stigma juga harus diubah, ini cocok dengan target pemkot melalui RW 1 Nakes 1,” ujar dia.

Wali Kota Eri menjelaskan bahwa Pemkot Surabaya telah memiliki layanan kesehatan dengan konsep RW 1 Nakes 1 (R1N1) yang bertujuan mempermudah dan mendekatkan pelayanan media kepada warganya. Layanan ini menjadi bagian dari pencegahan ketika warga mengalami sakit ringan atau berisiko tinggi.

“Dalam 1 RW bisa mengetahui data. Jumlah warga hamil, sakit, dan data-data kependudukan lainnya. Itulah yang saya sebut sebagai Surabaya Bergerak,” Wali Kota Eri Cahyadi menjelskan. 

orkestra-tbc.jpg

Program ini kemudian ditambah degan dengan gerakan pencegahan TBC. Ia meminta kepada semua warga untuk memberi ruang kepada penyintas TBC, dengan catatan tetapi mengenakan masker. Wali Kota Eri berharap program ini bisa mengeliminasi TBC.

Pada dasarnya TBC dan COVID-19 sangat berbeda, sehingga tidak perlu dibangun tempat khusus. Sebab, jika ada tempat khusus maka menimbulkan stigma di masyarakat seolah-olah penyintas diasingkan.

“Pendekatannya berbeda, dokter menyampaikan penderita bisa tetap berinteraksi dengan mengenakan masker dan rutin mengonsumsi obat agar bisa sembuh. Kami juga berkoordinasi dengan DPRD bagaimana pendekatan itu dilakukan,” terangnya.

Sejauh ini penyintas TBC mayoritas enggan mengaku. Saat mendapat perawatan dan pengobatan, penderita seringkali bosan mengonsumsi obat. Akibatnya banyak penderita yang mengalami resisten obat. 

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Nanik Sukristina mengatakan, TBC tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi. Stigma terhadap penderita TBC menjadi tantangan dalam upaya pengendalian penyakit. 

“Kegiatan ini untuk memperkuat sinergi dan kolaborasi antar sektor dalam mendukung program pengendalian TBC. Perlu tersampaikannya KIE kepada masyarakat dan menghilangkan stigma negatif di masyarakat terhadap penderita TBC,” kata Nanik.