• 24 Apr, 2025

Festival Rujak Uleg 2024, Wujud Kebersamaan dan Kekeluargaan Membangun Surabaya

Festival Rujak Uleg 2024, Wujud Kebersamaan dan Kekeluargaan Membangun Surabaya

SEBANYAK 5.000 lebih warga Kota Surabaya tumplek blek di halaman Balai Kota Surabaya pada Minggu (19/5/2024) pagi. Seluruh warga menjadi saksi kemeriahan Festival Rujak Uleg 2024 yang digelar dalam rangka Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-731.

Serangkaian acara mengawali festival tahunan itu, mulai dari teatrikal Pasar Suroboyo ‘The History of Rujak Cingur’, lomba fashion show Akulturasi Budaya Surabaya, ‘ngulek’ rujak bareng, hingga Lomba Rujak Uleg. Tahun ini, Festival Rujak Uleg mengusung ‘The History of Rujak Cingur’, sehingga konsep dan lokasinya juga berbeda.

Festival yang selalu ditunggu-tunggu setiap tahun ini kerap digelar di Jalan Kembang Jepun kawasan Kya-Kya pada malam hari. Namun, tahun ini digelar di Taman Surya halaman Balai Kota Surabaya pada pagi hari. Alhasil, warga yang penasaran bisa menyaksikan dan menikmati kuliner khas Surabaya semakin membludak.

download-11
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan bahwa Festival Rujak Uleg 2024 memiliki konsep, tema, dan lokasi yang berbeda. Tujuannya untuk kenyamanan dan menarik minat masyarakat untuk datang menyaksikan festival tersebut.

“Insyaallah tahun depan temanya juga berbeda, karena kami membuat tema yang berbeda-beda. Seperti adanya teatrikal, yang menceritakan awal mulanya rujak itu seperti apa. Ini penting, supaya warga tahu sejarah rujak uleg,” kata Wali Kota Eri.

Menurutnya, penentuan tema rujak uleg itu disesuaikan dengan penempatan lokasi acara. Misalnya, Festival Rujak Uleg digelar dengan tema Mengenang Kota Lama, maka bisa digelar di Kota Lama. Akan tetapi jika ada tema berbeda, Festival Rujak Uleg ini bisa digelar di Balai Kota Surabaya.

Ia juga menjelaskan alasannya menggelar Festival Rujak Uleg 2024 di Balai Kota Surabaya. Salah satunya karena kapasitas yang lebih luas dibandingkan dengan Kya-Kya, Jalan Kembang Jepun. Selain itu, jika festival ini digelar di Kya-Kya, lebih sempit karena areanya memanjang. Sedangkan di Balai Kota Surabaya, areanya lebih luas dan melebar.

“Warga yang hadir lebih banyak di Balai Kota dibandingkan di Kya-Kya, karena Di Balai Kota Surabaya bisa menampung 8.000 lebih warga. Di Kya-Kya akan terlihat penuh karena space-nya kecil dan memanjang,” Wali Kota Eri menjelaskan.

Selain tema dan lokasi yang berbeda, jumlah porsi yang disuguhkan dalam festival ini juga berbeda. Kali ini, Wali Kota Eri menyiapkan 731 porsi rujak untuk dibagikan kepada masyarakat. Jumlah ini sesuai dengan peringatan HJKS yang memasuki usia ke-731.

Perbedaan lain terletak pada pesertanya. Pada tahun-tahun sebelumnya dihadiri jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot), hotel, dan masyarakat umum di Surabaya. Kini, pesertanya diikuti masyarakat umum, komunitas, hotel, restoran, sekolah, dan universitas.

Pada event ini, masyarakat dipastikan mendapatkan rujak uleg. Sebab, pemkot menyediakan 800 porsi rujak uleg untuk dinikmati bersama. “Ada 731 porsi dari pemkot, dan sekitar 800-an porsi dari peserta. Berarti ada sekitar 1.500 porsi yang dibagikan kepada warga,” katanya.

Wali Kota Eri menyampaikan, Festival Rujak Uleg bukan sekadar acara untuk menikmati sajian lokal khas Surabaya. Akan tetapi, digelarnya festival ini wujud memaknai rasa kebersamaan, toleransi, dan kerukunan warganya dalam membangun Kota Surabaya.

Rasa kebersamaan, toleransi, dan kerukunan itu diibaratkan seperti bahan-bahan yang digunakan sebagai racikan rujak uleg. Mulai dari cingur, sayur-sayuran, buah-buahan, tahu, tempe, hingga petis yang dicampur menjadi satu bagian sajian kuliner rujak uleg. “Nah, Surabaya juga begitu,” tegasnya.

Bagi dia, Surabaya ini filosofinya terdiri dari semua agama, suku, dan masyarakat yang harus menjadi satu. Ia mengingatkan Surabaya tidak bisa lepas dari toleransi. Seperti rujak uleg. Hilang satu komponen, akan terasa hambar.

“Begitu juga Surabaya, tanpa ada agama Kristen akan terasa hambar, tanpa Islam dan Buddha juga tidak akan terasa. Tanpa ada suku Jawa, Tionghoa, dan Madura, juga tidak akan terasa. Maka dari itulah Surabaya dibangun atas dasar kebersamaan dan kekeluargaan seperti rujak uleg ini,” paparnya.